Dasar pemilihan warna kasula dan stola

Sebagai Gereja yang bertumbuh dalam kehidupan sejarah dan menghayati Misteri Paskah, perayaan Liturgi berkembang seiring dengan perjalanan iman umat.

Aug 14, 2020

Soalan: Dalam setiap Ekaristi, imam selalu menggunakan warna kasula dan stola yang berbeda-beda. Sebenarnya apakah yang menjadi dasar pemilihan warna ini. Apakah warna ini berkaitan dengan masa-masa Liturgi? - Anastasia 

Jawaban: Liturgi Gereja yang kita kenal saat ini merupakan buah dari sebuah perjalanan sejarah. Pada masa awal Gereja, Liturgi yang awal dilakukan oleh Para Rasul bersama Jemaat Perdana adalah Perayaan Ekaristi (Bdk. Kis. 2: 42), karena Ekaristi merupakan “wasiat” Yesus, ketika merayakan Perjamuan Terakhir: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19). Lebih dari itu, perayaan Ekaristi menjadi yang utama, kerana  Ekaristi merupakan perayaan karya keselamatan Kristus (Misteri Paskah) bagi manusia (Bdk. SC 6). Sehingga Ekaristi disebut sebagai sumber dan puncak hidup Gereja (Bdk. SC 10).

Sebagai Gereja yang bertumbuh dalam kehidupan sejarah dan menghayati Misteri Paskah, perayaan Liturgi berkembang seiring dengan perjalanan iman umat.

Gereja yang berawal merayakan Ekaristi pada hari Minggu, sebagai perayaan misteri Paskah itu, hendak memaparkan seluruh misteri Kristus, dari penjelmaannya (Masa Adven), sampai penantian kedatangan Tuhan dengan penuh bahagia (HR. Kristus Raja Semesta Alam). Sehingga, hadirlah dalam Gereja yang disebut sebagai “Tahun Liturgi” (Lih. SC 102). Kehadiran Tahun Liturgi ini sesungguhnya lebih tepat disebut undangan Gereja bagi umat beriman, supaya mengenali kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan, ketika mengenangkan misteri penebusan Kristus. Gereja berharap melalui Tahun Liturgi ini, rahasia-rahasia misteri penebusan dapat senantiasa hadir bagi umat beriman. Sehingga, umat dapat mencapai misteri tersebut, dan dipenuhi rahmat keselamatan (Bdk. SC 102).

Dua hal yang perlu dijelaskan, yaitu “asal usul penggunaan Warna Liturgi dan pendasaran di balik warna itu”. Pertama, penggunaan Warna Liturgi dapat ditelusuri dalam sejarah Gereja. Awalnya, Gereja, menurut Paus Benediktus XIV (1675-1758) dalam De Sacro Sacrificio Missae, menggunakan hanya satu Warna Liturgi, yaitu warna putih.

Kemudian, penggunaan Warna Liturgi mulai menjadi ketentuan pada masa Kepausan Bapa Suci Inosentius III (1160-1216), yang tertuang dalam De Sacro Mysterioaltaris. Sri Paus menyatakan, ada empat Warna Liturgi pokok: putih, merah, hijau, dan hitam. Warna-warna inilah kemudian dalam perjalanan berikutnya hingga Konsili Vatikan II, terlebih dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR), menjadi suatu ketentuan Liturgi Gereja Katolik.

Kedua, dasar penggunaan Liturgi dan warnanya sebenarnya mengacu kepada misteri yang sedang dirayakan dalam Liturgi dan makna kehidupan Kristiani sepanjang Tahun Liturgi (Bdk. IGMR 345).

Dalam Liturgi ketika ini, ada enam warna yang umum digunakan: putih, merah, hijau, ungu, hitam, dan merah muda. Putih digunakan pada Masa Paskah, Natal dan Hari-hari Raya Gereja. Putih digunakan juga dalam peringatan Bonda Maria, kerana mahu menegaskan tentang “kemuliaan, kemurniaan, dan sukacita”.

Merah digunakan sepanjang tahun, ketika Gereja merayakan peristiwa yang berkaitan dengan “kemartiran”, dan secara khusus sebagai “lambang api roh Kudus” pada Hari Raya Pentakosta, dan pengorbanan Kristus pada Minggu Palma dan Jumat Agung. Hijau merupakan warna yang khas pada Masa Biasa, sebagai tanda harapan iman umat.

Ungu muncul secara khusus pada Masa Adven dan Masa Pra-Paskah, yang hendak menegaskan saat penantian, pengharapan, dan pertobatan umat; juga digunakan pada upacara pemakanan. Hitam dipakai sepanjang tahun, sebagai lambang perkabungan terutama dalam upacara pemakaman. Merah muda merupakan warna khusus untuk Minggu III Adven (Gaudete) dan Minggu ke-4 Prapaskah (Laetare).

Di balik semua itu, hal yang paling utama dan mendasar dalam Liturgi adalah “Kehadiran Kristus”. Kekayaan Liturgi, termasuk dengan Tahun Liturgi, lingkaran perayaan, pakaian, simbol, serta warna-warna di dalamnya selalu berfokus pada Kristus. Ertinya, semua bentuk dalam Liturgi adalah menghadirkan Kristus kepada umat beriman kerana “Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis” (SC 7). –– Father Yohanes Benny Suwito Dosen Teologi Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya, hidupkatolik.com

Total Comments:0

Name
Email
Comments