Umat Ekaristi harus mengasihi sesama

Menerima Ekaristi, namun tidak menyedari diri untuk bertindak sebagai sesama terhadap orang lain, itu bererti kita menipu diri kita sendiri, bukan seperti orang Samaria yang baik hati.

Jul 12, 2019

MINGGU BIASA KE-15
TAHUN C
ULANGAN 30:10-14
KOLOSE 1:15-20
INJIL LUKAS 10:25-37

Pada hari Minggu Biasa ke XV di pertengahan tahun ini, Injil Lukas mengemukakan kepada kita suatu pertanyaan atau masalah, yang dikemukakan orang Yahudi kepada Yesus: "Siapakah sesamaku manusia?". Kini 20 abad kemudian pertanyaan itu tetap aktual dan relevan bagi kita semua tanpa kekecualian. Teristimewa dalam merayakan Ekaristi, sebagai perayaan untuk saling mengasihi dalam Kristus, marilah kita berusaha menjawab pertanyaan itu.

Dalam ceritera Injil Lukas, Yesus menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat (di zaman kita: Doktor Hukum) tentang sesama dengan suatu perumpamaan tentang seorang Samaria yang baik hati.

Dalam masyarakat Yahudi waktu itu ada perbezaan pendapat tentang siapakah sebenarnya dapat disebut sesama sebagai warga Israel. Pada umumnya yang dianggap termasuk kategori “sesama” ialah warga Yahudi, lahir di Isreal, atau warga negara lain namun sudah menjadi warga Yahudi.

Tetapi bagi Yesus kategori “sesama” bersifat universal, bukan khusus, atau bersyarat. Pandangan tentang “sesama” bukan diukur dari segi hubungan keluarga, etnik, suku, agama, melainkan dari segi kemanusiaan. Kerana itu musuh atau lawan kita pun adalah sesama kita juga! Tetapi dalam kenyataannya orang-orang Yahudi “tidak bergaul dengan orang Samaria (Yoh 4:9).” Orang Samaria adalah penduduk pendatang, bukanlah orang Yahudi.

Dalam perumpamaan itu Yesus mengajarkan kepada kita, bahawa kasih kita kepada sesama tidak hanya universal saja, tetapi harus nyata dihayati secara konkrit.

Bagaimana perilaku orang Samaritan dalam perumpamaan itu? Seandainya dia tidak ambil pusing atau acuh tak acuh dan melewatinya saja, bukankah sikapnya itu sangat memalukan?

Tetapi bukan demikian sikap orang Samaria itu. Ia justeru menolong dan berusaha menyelamatkan si mangsa, membawanya ke tempat di mana ia dapat dilayani. Bahkan ia bersedia akan membayarnya lagi apabila ada kelebihan biaya yang harus dilunasi.

Pelajaran baru apa yang disampaikan oleh Yesus kepada kita dalam perumpamaan ini? Pelajaran baru itu bukan hanya bererti bahawa kita harus melaksanakan kasih universal secara nyata.

Ada kelebihannya. Pelajaran Yesus yang baru itu diungkapkan- Nya dengan suatu pertanyaan kepada ahli Taurat: “Menurut pendapatmu siapakah di antara ketiga orang ini (iaitu seorang imam, seorang Lewi dan seorang Samaria) adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”

Ternyata Yesus menyampaikan kepada kita suatu pandangan baru tentang sesama, bukan bertentangan dengannya melainkan untuk melengkapinya. Ertinya, janganlah kita menunggu dahulu sampai sesama kita menjumpai kita, atau mungkin kebetulan berjumpa. Kita harus selalu siap mengenal atau mencari “sesama” kita itu! Kita semua terpanggil menjadi sesama dan berbuat bagi sesama. Bukan hanya menunggu! Apalagi acuh tak acuh terhadap sesama.

Masalah yang diajukan ahli Taurat itu oleh Yesus dibalik! Suatu masalah yang abstrak dan ibaratnya terlalu akademik, diubah menjadi suatu masalah yang hidup dan konkrit. Kerana itu pertanyaan yang harus kita jawab bukankah “Siapakah sesamaku”, melainkan “Di sini dan sekarang ini, aku ini adalah sesama dari siapa?”

Dalam bukunya yang berjudul “Yesus dari Nazaret”, Sri Paus Emeritus Benediktus XVI menggambarkan Benua Afrika sebagai seorang yang menderita, yang dirampok, dilukai dan dibiarkan menderita di tepi jalan. Penduduk Afrika memandang bangsa-bangsa di Benua Utara (Eropah dan Amerika) yang penuh kekayaan, namun sebagai orang yang lewat saja, atau bahkan merampok hasil alam Afrika.

Bagi kita semua, perumpamaan ini dapat kita pakai juga untuk secara tulus dan jujur melihat keadaan bangsa kita sekarang ini.

Pertanyaan kita sebagai umat Kristian, “Siapakah sesamaku?" Apabila pertanyaan itu disampaikan kepada Yesus, kiranya Yesus akan menjawab: “Sesamamu bukan hanya keluargamu sendiri, bukan hanya sesama umat Kristian, baik Katolik mahupun Protestan, bukan hanya kaum Muslim, Buddha atau Hindu, tetapi juga orang-orang yang kaya mahupun yang miskin. Malah, diulangi, musuh dan lawan kita juga adalah sesama kita!

Inilah pengertian Kristian yang benar tentang sesama dan tentang kasih universal. Namun demi keutuhan pelaksanaannya, kita masih harus menambahkan pengertian yang mutlak perlu ini iaitu yang paling penting bukanlah mengetahui siapakah sesamaku, melainkan mengetahui dan menyedari siapakah aku ini, di sini dan sekarang ini?

Aku ini sesama dari siapa, sehingga aku dapat menjadi orang Samaritan yang baik. Pengertian Kristian tentang sesama ini berlaku bagi siapapun, tetapi dalam pelaksanaannya kita harus sedar akan Kekristianan kita, dan menggunakan sarana-sarana yang tersedia bagi kita.

Khususnya dalam hidup keagamaan, terutama dalam perayaan Ekaristi, kita semua harus sungguh merasa, bahawa kita adalah sungguh sesama, sebab kita ini semua bersatu dalam Kristus yang satu dan sama, dan kita sambut bersama di dalam penerimaan Ekaristi.

Menerima Ekaristi, namun tidak menyedari diri untuk bertindak sebagai sesama terhadap orang lain, itu bererti kita menipu diri kita sendiri, bukan seperti orang Samaria yang baik hati. — Msgr. FX. Hadisumarta O.Carm

Total Comments:0

Name
Email
Comments