Penggunaan dupa, ukupan dalam liturgi
Selain itu dupa dalam tradisi Gereja juga merupakan suatu simbol penyucian dan pemurnian, yang menandakan doa-doa umat beriman di hadapan Tuhan yang kudus. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip atau kriteria dasar untuk menempatkan penggunaan dupa.
Mar 17, 2023

Soalan: Saya pernah melihat ada umat yang menancapkan dupa lidi di depan patung Bonda Maria saat berdoa. Apakah ini perbuatan menyimpang dari ajaran Gereja? — Ingin Tahu
Sejauh pengetahuan dan pemahaman saya, tidak ada suatu ketentuan tegas tentang penggunaan dupa. Hanya diingatkan agar pemakaian-nya digunakan secara tepat.
Namun kita memahami penggunaan dupa dimaksudkan sebagai suatu tanda atau ungkapan penghormatan.
Selain itu dupa dalam tradisi Gereja juga merupakan suatu simbol penyucian dan pemurnian, yang menandakan doa-doa umat beriman di hadapan Tuhan yang kudus. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip atau kriteria dasar untuk menempatkan penggunaan dupa.
Dalam tradisi Perjanjian Lama dikatakan mezbah tabut perjanjian dalam khemah suci dibuat dan di depannya dibakar ukupan sebagai ungkapan doa yang terus-menerus dipanjatkan ke hadirat Tuhan (Lih. Kel. 30:1-38).
Ukupan tersebut dibakar oleh imam dan di- buat dengan bahan khusus dikatakan sebagai doa, “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ungkupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang” (Mzm. 141:2).
Semua itu dipersembahkan sebagai suatu persembahan dupa yang harum mewangi bersama doa ke hadapan mezbah yang kudus (Lih. Why. 8:3). Pengakuan akan kebesaran dan kemuliaan Tuhan di tempat-Nya yang kudus dinyatakan dengannya. Tatacaranya pun di- terangkan (Lih. Im. 16:12-13; Bdk. Ibr. 9:4).
Hanya imam tertentu dan yang dipilih yang melakukan pembakaran ukupan tersebut, sebagaimana terjadi pada Zakharia saat mendapatkan penampakan Malaikat yang memberitahu soal kelahiran Yohanes Pembaptis (Lih. Luk. 1:8-23).
Secara umum dalam Perjanjian Baru tradisi tersebut tidak lagi kita temukan, hanya perintah untuk mendaraskan doa tanpa henti, dengan tidak jemu-jemu diajarkan (Lih. Luk. 18:1).
Tabut perjanjian dan mezbah kudus dalam Bait Tuhan berada di tempat khusus, tetapi kini, ibadat dapat dilaksanakan di mana saja.
Yesus dalam percakapannya dengan perempuan Samaria mengatakan tentang menyembah Tuhan bukan di tempat tertentu namun menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Lih. Yoh. 4:21-23).
Dupa sebagai simbol penyucian dan pemurnian, mengungkapkan bahawa doa, dan bahkan liturgi itu sendiri, merupakan suatu aksi penyucian dan pemurnian agar kita juga semakin belajar menempatkan diri layak dalam berbakti kepada Tuhan.
Doa dihadapkan yang kudus dinyatakan dalam cawan emas yang penuh dengan kemenyan, bagaikan doa para kudus (Lih. Why. 5:8).
Dupa mengajak kita untuk mengarahkan diri ke Syurga, bahawa doa merupakan sesuatu yang ilahi dan doa-doa kita tertuju pada Tuhan.
Tentu dengannya aura kemegahan dan misteri disimbolkan pula. Selain itu, dupa juga sering digunakan untuk mendupai jenazah atau sebagai tanda memberkati benda-benda suci.
Tradisi budaya masing-masing membawa kekhasannya. Dupa lidi bukan sesuatu yang salah, kerana ia sesuatu yang khas dari tradisi budaya.
Praktik kesalahen (pieta) umat nyatanya ditandai dengan unsur-unsur budaya pula. Penghormatan akan jenazah orang yang meninggal selain menandakan iman akan kebangkitan, namun juga memuat permohonan akan belaskasih Tuhan akan pemurnian hidupnya agar layak diterima dalam persekutuan dengan para kudus di Syurga.
Di satu sisi kita menghargai kekayaan dan kekhasan budaya setempat. Namun dalam hal ini, agar segalanya tidak terjebak dalam rasa subjektif belaka, kita perlu mendengarkan patokan atau penetapan dari pimpinan Gereja setempat. Demikian pula penilaian apakah sesuatu itu menyimpang atau tidak janganlah ditentukan oleh penilaian subjektif kita. Yang pokok adalah apakah dengannya kita menyatakan ungkapan pujian akan kemuliaan Tuhan, pun melalui penghormatan akan jenazah mereka yang telah meninggal. — Fr T. Krispurwana Cahyadi, SJ, hidupkatolik.com
Total Comments:0