Kasih tak terperi Tuhan kepada ciptaan-Nya

Injil Lukas hari ini merupakan suatu perumpamaan yang sangat bagus dan mengharukan tentang kebaikan hati dan belas kasih seorang bapa terhadap anaknya.

Mar 04, 2016

HARI MINGGU PRA-PASKAH IV
TAHUN C
YOSUA 5:9A.10-12
2 KORINTUS 5:17-21
INJIL LUKAS 15:1-3.11-32

Injil Lukas hari ini merupakan suatu perumpamaan yang sangat bagus dan mengharukan tentang kebaikan hati dan belas kasih seorang bapa terhadap anaknya. Perumpamaan itu merupakan gambaran tentang betapa besar belas kasih Tuhan kepada kita sebagai orang berdosa. Bila kita mahu bertobat, akan diterima kembali oleh-Nya disertai pengampunan penuh kasih yang tiada taranya.

Seluruh Injil Lukas Bab 15 memuatkan tiga perumpamaan tentang sesuatu yang hilang namun ditemui kembali iaitu tentang domba (ay.1-7), dirham (ay.8-10) dan anak yang hilang (ay.11-32).


Kita yang jujur akan segera merasa, bahawa perumpamaan tenang anak yang hilang itu menggambarkan kehidupan kita masing-masing, baik sebagai orang tua mahupun sebagai anak, sebagai anak bongsu mahupun anak sulung. Tetapi juga berlaku untuk hubungan kita satu sama lain dalam status apapun. Menurut karakter, watak, pembawaan ciri khusus kita sendiri, kita dapat belajar banyak dari perumpamaan sederhana namun sangat kena mengena dengan kehidupan kita.

Paus Santo Yohanes Paulus II dalam dokumen Anjuran Apostolik, yang berjudul “Rekonsiliasi dan Penyesalan” (“Reconciliatio et Paenitentia”) mengatakan sebagai berikut: “Perumpamaan tentang anak yang hilang itu pertama-tama adalah suatu ceritera tentang kasih yang tak terperi daripada Tuhan, yang melimpahkan kepada putera- Nya sebagai anugerah rekonsiliasi seutuhnya ketika Dia (Putera-Nya itu) datang kembali kepada-Nya.

Perumpamaan ini mengingatkan kita akan keperluan akan transformasi hati yang mendalam, iaitu dengan menemukan kembali belas kasihan Bapa, dan dengan mengatasi salah faham dan permusuhan di antara saudara-saudara laki-laki dan perempuan”. Ada tiga pelajaran yang dapat kita peroleh dalam perumpaan Injil hari ini.

Menurut adat kuno Yahudi, anak sulung berhak menerima warisan rangkap dari ayahnya, sedangkan adiknya hanya menerima sepertiga. Tetapi si anak bongsu dalam perumpamaan itu, yang minta bahagian harta miliknya sebagai warisan meskipun ayahnya masih hidup, sebenarnya menghina ayahnya. Si anak bongsu ini merasa terlalu lama bila harus menunggu sampai ayahnya meninggal dahulu untuk memiliki milik warisannya. Dan ketika permintaannya dipenuhi, si bongsu itu menghabiskan segenap miliknya dengan hidup berfoya-foya dengan segenap akibatnya yang buruk.

Akibatnya dia hidup sangat melarat, menderita dan nyaris makan sisa-sisa makanan binatang. Kata “milik” harta si bongsu yang habis seperti disebut dalam Injil Lukas, bukanlah sekadar milik materialnya sahaja. Apa yang ingin dikemukakan dalam Injil ialah, si bongsu itu bukan hanya kehilangan kekayaan materialnya, juga kehilangan martabat dirinya sendiri, nilai peribadinya sendiri.

Ayah bagi kedua-dua anak ini, iaitu si sulung dan si bongsu itu bagi ramai orang, dianggap memberi kesan sebagai seorang ayah, yang tidak bijaksana.

Dinilai memalukan dan kurang mampu mendidik anaknya, dan mengikuti semua keinginannya. Ternyata ayah itu malahan menyambut si bongsu “yang telah hilang” itu dengan merangkul dan mencium dia, dan diberi pakaian yang terbaik. Tetapi Yesus membenarkan sikap dan perbuatan si Bapa itu terhadap si bongsu. Apa yang dilakukan si ayah itu adalah perbuatan kasih. Dia ikut merasakan apa yang diderita orang lain (sebagai “compassio”), sebagai ungkapan kelembutan hati dan kasihnya.

Reaksi si anak sulung ialah marah ketika melihat apa yang terjadi ketika adiknya kembali, dan menyaksikan apa yang dilakukan ayahnya terhadap adiknya yang begitu tak layak itu. Reaksinya itu sepintas lalu dapat dimengerti dan adil. Tetapi dari segi lain, meskipun dia merasa telah melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai seorang putera dengan setia, namun daripada keluhannya itu tidak terungkapkan rasa kasih atau kerelaan hatinya dalam melaksanakannya.

Dia justeru merasa seolah-olah diperlakukan oleh ayahnya sebagai pekerja belaka. Dia merasa tidak mengalami ungkapan penghargaan dan rasa terima kasih daripada ayahnya. Dia taat dan setia melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya kepadanya, tetapi dia merasa menghadapi ketidakadilan.

Kehidupan dan perbuatan adiknya, yang begitu rendah nilainya, justeru dianggap seolaholah “tidak apa-apa”! Menurut si sulung, ayahnya dianggap berhak dan berkewajiban menolak kedatangan adik bongsunya itu. Si bongsu sudah merendahkan nama keluarga, tetapi diterima begitu baik, sedangkan si sulung yang setia merasa dianggap sebagai orang asing!

Tuhan menerima orang berdosa dan orang-orang yang dalam masyarakat di bidang sosial dan keagamaan kurang atau tidak dihargai. Syaratnya bagi Tuhan ialah penyesalan dan pertobatan. Kepada si sulung ayahnya berkata: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”.

Penerimaan kembali adiknya yang hilang dan bahawa diketemukan kembali, tidak bertentangan dengan kesetiaan abangnya kepada ayahnya. Pertobatan membuka pintu baru untuk memasuki rekonsiliasi dan hidup bersama penuh pengertian dan kasih. Setiap orang sungguh bertobat kepada Tuhan akan rela berrekonsiliasi dengan sesamanya.

Hari ini disebut Hari Minggu “Laetare”, ertinya bergembiralah. Mengapa? Kita di tengah-tengah perjalanan berusaha bertobat selama masa puasa dan pantang ini diingatkan, bahawa orang yang bertobat akan bergembira, sebab dia akan diterima kembali oleh Tuhan penuh belaskasihan sebagai putera-Nya sendiri. -- Msgr. FX. Hadisumarta O.Carm

Total Comments:0

Name
Email
Comments