Seorang biarawati misionari buat Presiden marah

Dia digambarkan sebagai wanita rapuh, tua, kurus dan lemah, tetapi dia memaksa pemimpin Filipina berbicara di depan umum

May 04, 2018

MANILA: Dia digambarkan sebagai wanita rapuh, tua, kurus dan lemah, tetapi dia memaksa pemimpin Filipina berbicara di depan umum.

“Kamu siapa?” Presiden Rodrigo Duterte marah. “Kamu tidak punya hak untuk mengkritik kami …. Hanya kerana kamu seorang biarawati?

Presiden bahkan mengakui bahawa dia secara peribadi memerintahkan siasatan atas kegiatan Sr Patricia Anne Fox.

Siapa sebenarnya biarawati Australia berusia 71 tahun yang penahanannya memonopoli berita utama di Manila?

Sr Pat, berasal dari Kongregasi Sister-sister Puteri Sion dan telah melayani di Filipina sejak tahun 1990. Marie Theodor Ratisbonne dan saudaranya Marie-Alphonse Ratisbonne mendirikan kongregasi misionari itu di Perancis tahun 1843.

Tahun 1890, kongregasi itu hadir di Australia dengan sebuah misi “meningkatkan hubungan Katolik-Yahudi dan menghadirkan kasih setia Tuhan bagi orang-orang Yahudi.”
Sister Pat menyertai kongregasi itu pada tahun 1969 dan setelah sepuluh tahun, dia mengucapkan kaul kekalnya sebagai seorang misionari religius.

Kerihatinannya terhadap masyarakat miskin di kota Melbourne, “di mana orang tidak memiliki wang untuk membayar penguam,” telah mendornongnya untuk belajar undang-undang pada tahun 1980.
Selepas lulus ujian menjadi penguam, Sister Pat diundang ke Filipina untuk meninjau kerjasama Filipina-Australia bagi melihat situasi ekonomi di negara tersebut.

“Saya jatuh cinta dengan orang Filipina. Saya terinspirasi oleh ketabahan dan sifat humor mereka meskipun di tengah-tengah kepahitan hidup, katanya kepada ucanews.com.

Sister Pat diberi mandat untuk melayani di Asia oleh Provinsi Kongregasinya. Setelah lima tahun tinggal di daerah Aurora, Filipina, Sister Pat tekun bekerja di komisi keadilan dan perdamaian di keuskupan Infanta.

Sister Pat banyak melakukan penelitian tentang pembalakan dan pelbagai masalah tanah.
Dia memberikan nasihat kepada petani mengenai hak mereka ke atas tanah dan kesan pembalakan yang merosakkan pertanian serta alam sekitar.

Dia juga pergi ke kawasankawasan terpencil untuk mendengar masalahmasalah yang dihadapi oleh golongan petani berkenaan tanah. Namun begitu, usaha Sister Pat menimbulkan keresahan beberapa pihak. Pihak imigrasi Filipina menggunakan gambar Sr. Pat yang mengunjungi seorang petani yang ditahan sebagai bukti keterlibatannya dalam kegiatan politik.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh biro imigrasi pada 25 April mengatakan biarawati berusia 71 tahun itu, yang ditangkap pada 16 April dan , telah diperintahkan meninggalkan negara itu. “Dia didapati terlibat dalam kegiatan yang tidak diperbolehkan menurut syarat dan ketentuan visanya,” kata Komisaris Imigrasi, Jaime Morente.

Pejabat imigrasi mengatakan visa yang diberikan kepada Sr Pat memberinya “hak istimewa terlibat dalam pekerjaan misionari sahaja dan bukan dalam kegiatan politik.”

Biarawati itu, yang merupakan superior Kongregasi Suster-Suster Santa Maria dari Sion, mengatakan dia terkejut dengan keputusan biro imigrasi.

“Saya fikir prosesnya adalah saya akan memiliki sepuluh hari untuk menjawab tuduhan itu,” katanya dalam sebuah pernyataan.

“Saya sangat sedih bahawa keputusan saat ini adalah saya harus meninggalkan Filipina,” kata Sr Pat, yang menghabiskan hampir tiga dekad hidupnya melayani dalam komuniti miskin.

Sr Pat mengatakan bahawa pekerjaannya di tengah-tengah orang miskin telah membuatnya terlibat konflik dengan pihak berwenang.

“Saya masih berharap mendapat kesempatan menjelaskan bagaimana saya melihat misi saya sebagai seorang religius dan mungkin keputusan itu dapat dipertimbangkan kembali,” katanya.

“Saya mungkin kehilangan hak saya berada di Filipina tetapi saya tidak pernah akan kehilangan pembelajaran dan kenangan indah,” katanya.

Reaksi keputusan pembatalan visa Sr Pat, para aktivis Gereja dan HAM berbaris menuju ke pejabat utama biro imigrasi di Manila pada 25 April memprotes apa yang mereka katakan sebagai “tindakan penganiayaan terhadap agama.”

Sr Elenita Belardo RGS, koordinator Misionari Pedesaan Filipina, mengatakan pemerintah Filipina tampaknya tidak mengerti apa erti menjadi seorang misionari.

“Kami adalah pengikut Kristus dan misi Kristus adalah misi kami, iaitu membawa Khabar Baik kepada orang miskin, membela yang tidak bersuara, dan melawan ketidak adilan,” kata Sr Belardo.

Fr Benjamin Alforgue dari kumpulan ekumenis meminta kepada pihak berwenang memberi kesempatan kepada Sr.Pat untuk membela diri dan menjawab dakwaan terhadapnya.

“Seharusnya, tidak dilakukan pelucutan visa sebelum biro mendengar penjelasan Sr Pat, kata imam itu dengan nada kesal.

Fr Oliver Castor CsSR dari Misionari Pedesaaan Filipina mengatakan pemerintah telah berusaha “menghentikan pelayanan Gereja di tengah orang miskin. Apa yang dilakukan pemerintah kepada Sr. Pat mirip dengan apa yang dilakukan oleh diktator Ferdinand Marcos selama masa pemerintahannya!” — ucanews.com (digunakan dengan izin)

Total Comments:0

Name
Email
Comments